PEH, Pengendali Ekosistem Hutan




Suara motor 2tak meraung-raung di tengah hutan bakau dimana air laut sedang pasang. Roda belakang sudah separuh tenggelam di lumpur. Cipratan tanah bercampur air membuat baju yang saya gunakan menjadi kotor. Perjalanan masih tersisa sekitar satu setengah jam, sementara sang surya sudah mulai beranjak turun dari peraduan, meninggalkan sisa senja yang sebentar lagi gelap gulita.

Bulir-bulir bening dari langit pun mulai turun membasahi bumi. Walaupun tidak deras, namun cukup membuat badan menjadi agak lemas. Tangan kanan masih memaksa memutar handle gas, sementara tangan kiri masih terus berusaha menyesuaikan kopling serta tuas presneling, agar mesin tidak mati. Jika mesin motor mati, tenaga yang dibutuhkan untuk keluar dari kubangan lumpur akan semakin tinggi.

Roda belakang masih terus berputar. Melawan kerasnya batu karang yang menghadang. Untuk menuju Resort Teluk Brumbun di Taman Nasional Bali Barat, salah satu jalur terpendek adalah melewati hutan bakau. Jika air laut sedang surut, jalur yang biasanya dilewati cukup mudah terlihat. Namun jika sedang pasang, keadaan menjadi sebaliknya, seperti banjir air rob yang menuju daratan.

Panjang jalur hutan bakau yang harus saya lewati menuju tujuan ini kurang lebih sembilan kilometer. Walaupun ada rute yang lebih baik, namun saya lebih menyukai jalur ini, lebih menantang.

Pukul 18.25 Wita, saya berhasil melewati jalur hutan bakau. “Ah, tiga kilo lagi”, pikir saya.

Sampai di Resort Teluk Brumbun, jam di tangan menunjukkan pukul 18.35 Wita. Motor saya parkir di depan kantor resort. Perbekalan saya lepas dan turunkan di tempat yang aman, agar terhindar dari binatang di malam hari.

Sudah cukup telat untuk memonitor burung Curik Bali di sini. Biasanya para petugas memantau dan memberi makan burung yang menjadi maskot Provinsi Bali tersebut sore hari sekitar pukul 17.00 Wita. Walaupun sudah telat, namun saya masih menjadi penambah personil untuk penjagaan dimalam hari.

Suara binatang malam mulai bersahutan seolah-olah mereka adalah makhluh Tuhan yang paling arogan. Sekawanan rusa mulai berdatangan mendekati sumber cahaya, serta memanfaatkan air di cerukan-cerukan batu sisa gerimis sore tadi.

Para petugas pun mulai memposisikan diri. Ada yang berselimut langit beralaskan matras karena suhu cukup panas, ada pula yang bertelepon dengan pasangan sambal berjalan kesana-kemari mencari cukup sinyal. Saya sendiri cukup dengan membentangkan hammock berbahan parasut di antara dua buah pohon, sambil berselimut kantong tidur.

Sebelum adzan subuh yang otomatis berbunyi di gawai yang saya gunakan, saya sudah terjaga. Bersiap mengambil wudhu untuk menunaikan kewajiban. Bersama rekan seiman yang bertugas malam mini, kami melaksanakan sholat subuh berjamaah di sudut bangunan kantor resort.

Pukul 05.30 Wita, saya menyiapkan segala perlengkapan untuk aktivitas pagi, teropong, buku catatan, serta kamera kecil yang biasa saya gunakan untuk membidik foto burung dengan teknik digiscoping. Selain itu, bekal yang saya bawa kemarin sore, berupa buah dan ulat hongkong saya siapkan di tempat pakan burung. Mulailah saya mencatat burung Curik Bali yang datang di tempat pakan.

Sementara, rekan petugas yang lain sedang sibuk di dapur, menyiapkan sarapan pagi. Ada juga yang sedang berpatroli berkeliling kawasan, untuk mengantisipasi pelanggaran-pelanggaran dibidang kehutanan.

“Sudah ada berapa ekor mas yang datang?” tanya petugas dari dapur.

“Ada 17 ekor, Pak, yang sudah datang”, balas saya sambal sedikit berteriak.

Di Lokasi pelepasliaran ini, burung Curik Bali yang dilepasliarkan dicatat dan ditandai dengan cincin yang dipasang di kaki. Biasanya menggunakan cincin logam maupun cincin berwarna mencolok yang berbahan dari plastik agar mudah untuk mengidentifikasi.

Matahari sudah mulai tinggi. Sang surya yang tadinya berwarna jingga, berubah menjadi cerah. Curik bali pun sudah berterbangan entah kemana. Petugas yang sedang berpatroli dari subuh tadi sudah berkumpul di depan kantor resort, sambal membawa beberapa rencek, pohon tumbang yang sudah mongering untuk dijadikan kayu bakar untuk memasak.

Kami pun berdiskusi sejenak, melaporkan hasil kegiatan masing-masing petugas sesuai bidangnya. Saya sebagai seorang calon Pengendali Ekosistem Hutan yang masih seumur jagung, menyampaikan hasil monitoring Curik Bali pagi ini. Sementara rekan polhut melaporkan hasil patrolinya.

“Ayo mas, kita sarapan dulu”, celetuk petugas dari dapur, sambal membawa beberapa piring yang berisi tahu tempe, oseng kangkung serta dadar jagung yang masih hangat.

Nikmat sekali sarapan kali ini.


*) Teluk Brumbun, pertengahan 2008



Komentar