SEMINAR MANUSIA SARDEN
Kalau dilihat dari judulnya, gahar bener! “Membangkitkan Semangat Pembaruan Birokrasi Dalam Melayani Masyarakat di Era Kerja.” Woow…Tapi begitu dilihat dari yang datang? Memble semua. Mestinya yang datang adalah mereka yang berada di seksi inti birokrasi, ataupun pemegang kebijakan. Lha ini yang datang seluruhnya adalah utusan disposisi. Ada yang masih kinyis-kinyis alias, ada yang sopir, juru masak, kasir, nah ada yang honorer, bahkan ada yang mahasiswa praktikan. Lha malah paling sering adalah mereka yang sudah tua yang tiga-empat bulan lagi pensiun.
Setelah terlambat selama satu setengah jam, hadirlah para pembicara. Moderator yang tanpa bersalah kepada peserta membuka seminar, lalu disusul pembicara pertama mengawali ocehannya.
“Maaf, sebenarnya saya ini pembicara pengganti. Baru tadi malam saya dihubungi oleh panitia dan pagi ini diminta hadir di sini….”, begitu katanya. Sudah! Selanjutnya sangat tidak menarik untuk ditulis.
Para peserta juga paham. Ini akhir tahun. Kegiatan harus jalan, mereka harus hadir karena atasan mereka ya sama dengan para panitia ini, dikejar deadline laporan-laporan tahunan sebelum habis masa anggaran. Kebanyakan peserta ya hasil dari lempar-lemparan disposisi. Kalau semua lagi sibuk, ya dilemparkan sama yang kelas bawah yang kadang nggak nyambung sama sekali. Nah yang ketiban sampur, sedikit bersyukur karena bulan-bulan ini job-job waton hadir gini lumayan banyak. Untuk mereka yang gajinya sebatas nutup butuh harian, lumayan karena selain dapat uang saku sebagai tambahan, mereka bisa dapat makan siang dan snack yang kadang dibawa pulang. Kirmah (mikir omah).
Apakah mereka akan paham dengan isi seminar? Nggak penting paham atau tidak. Semua juga sudah under estimate bahwa semua itu omong kosong. Penting ngisi daftar hadir, pulang bahwa notes, ballpoint, handout, stopmap atau kalau beruntung dapat tas seminar, co card yang cuma sekali pakai, sama yang paling penting adalah sertipikat yang kadang bisa dikoleksi buat nambah-nambah kredit point.
Maka, tidak sampai seperempat jam sudah banyak yang pada thekluk-thekluk, terkantuk-kantuk, beberapa lainnya seperti biasa, termasuk pembicara yang belum dapat jatah ngomong, utak-utik gadget smartphone mereka, BBM an atau Whatsapp-an atau FB-an, atau ngetwit.
Yang anak muda pasang status koyo yak-yak-o: “Lagi di hotel Hayat, seminar bla..bla..bla…”. Sesekali wajahnya senyum ketika sudah ada satu, dua, tiga jempol masuk. Lebih serius lagi wajahnya ketika ada comment di wallnya ” wah keren…., bagi-bagi yaa ilmunya”. (Prett). Padahal yang ngirim bisa jadi lagi ngantri pajak motor, lagi be-ol, lagi nunggu jemputan, lagi males kerja atau apapun, ah sebenarnya sih bukannya sok peduli sama status orang, cumaa… yahh..cari kegiatan (daripada bengong, maka utak-atik gadget).
Yang tua ya ngantuk. Kalau nggak bisa ngantuk yah liat kanan kiri, eternitnya diliat, ini kok pada jebol belum diperbaiki wong hotel sekelas ini…itu fotonya kok masih presiden yang lama…itu bunga apa kok bagus sekali..itu ibu pakai baju model apa..dan sebagai-bagainya.
Bagong yang hadir di situ pun, menggantikan Raden Arjuna, mengistilahkan mereka sebagai manusia sarden. Kok sarden? Lho gini. Anda pernah tau ikan sarden? Berapa banyak dalam satu kaleng? Oke katakanlah tiga. Apanya yang kurang? Yak betul! Kepalanya. Ya itulah manusia di sini. Badanya aja yang ada di sini tapi kepalanya entah kemana. Manusia sarden.
Jadwal seminar adalah sehari sampai jam empat sore, tetapi pas bakda Ishoma Dhuhur, moderator berbicara.
“Bapak ibu semuanya, kami memahami kesibukan bapak ibu. Kita tahu bla..bla..bla…Nah ini apakah acara seminar ini akan diteruskan sampai jam empat sore, ataukah mau dipercepat?”
Lhaaaaaaaa…inilah yang bikin peserta melek! Spontan semua menjawab,”Dipercepaaaaattt!!!!”
“Lha..beneran ini. Kalau mau sampai jam empat kita panitia juga sanggup. Benar mau dipercepat?”
“DIPERCEPAAATTT…” Maka berhamburanlah beberapa komentar liar.
“Lebih cepat lebih baik”..”Yang penting amplopnyaa.” “Sidah ditangkap substansinya, Pak”.
“Baiklah, untuk selanjutnya demi adanya kesepahaman, marilah diisi lembar evaluasi acara ini. Setelah itu Bapak Ibu kami persilahkan untuk ke panitia untuk mengurus administrasi dan membawa pulang snack sore yang telah kami persiapkan….”
Dan? Segenap peserta pulang dengan wajah cerah ceria menandatangani entah apa itu yang perlu ditandatangani setelah mengisi lembar evaluasi yang diisi asal-asalan. Pertanyaan terkait dengan mutu moderator, mutu pembicara, mutu tema dan lain sebagainyaaaaaaaaaaaaaaa……pokoknya digebyah uyah: MEMUASKAN. Nggak penting. Entah berapa lembar. Nggak penting. Yang penting setelah itu ada amplop dengan terbilang sekian rupiah dipotong pajak. Mereka sudah siap ketika besok melapor kepada atasan mereka. Sesuatu yang sudah biasa berulang dan berulang.
Sebuah peristiwa yang sudah sangat biasa di sebuah negeri imajinasi saya sendiri. Tidak pernah terjadi Indonesia, apalagi di Yogyakarta. Tenin kuwi.
=====
Pakem, 20 Desember 2014
Copy & paste dari rekan PNS di Pemprov DIY
Kalau dilihat dari judulnya, gahar bener! “Membangkitkan Semangat Pembaruan Birokrasi Dalam Melayani Masyarakat di Era Kerja.” Woow…Tapi begitu dilihat dari yang datang? Memble semua. Mestinya yang datang adalah mereka yang berada di seksi inti birokrasi, ataupun pemegang kebijakan. Lha ini yang datang seluruhnya adalah utusan disposisi. Ada yang masih kinyis-kinyis alias, ada yang sopir, juru masak, kasir, nah ada yang honorer, bahkan ada yang mahasiswa praktikan. Lha malah paling sering adalah mereka yang sudah tua yang tiga-empat bulan lagi pensiun.
Setelah terlambat selama satu setengah jam, hadirlah para pembicara. Moderator yang tanpa bersalah kepada peserta membuka seminar, lalu disusul pembicara pertama mengawali ocehannya.
“Maaf, sebenarnya saya ini pembicara pengganti. Baru tadi malam saya dihubungi oleh panitia dan pagi ini diminta hadir di sini….”, begitu katanya. Sudah! Selanjutnya sangat tidak menarik untuk ditulis.
Para peserta juga paham. Ini akhir tahun. Kegiatan harus jalan, mereka harus hadir karena atasan mereka ya sama dengan para panitia ini, dikejar deadline laporan-laporan tahunan sebelum habis masa anggaran. Kebanyakan peserta ya hasil dari lempar-lemparan disposisi. Kalau semua lagi sibuk, ya dilemparkan sama yang kelas bawah yang kadang nggak nyambung sama sekali. Nah yang ketiban sampur, sedikit bersyukur karena bulan-bulan ini job-job waton hadir gini lumayan banyak. Untuk mereka yang gajinya sebatas nutup butuh harian, lumayan karena selain dapat uang saku sebagai tambahan, mereka bisa dapat makan siang dan snack yang kadang dibawa pulang. Kirmah (mikir omah).
Apakah mereka akan paham dengan isi seminar? Nggak penting paham atau tidak. Semua juga sudah under estimate bahwa semua itu omong kosong. Penting ngisi daftar hadir, pulang bahwa notes, ballpoint, handout, stopmap atau kalau beruntung dapat tas seminar, co card yang cuma sekali pakai, sama yang paling penting adalah sertipikat yang kadang bisa dikoleksi buat nambah-nambah kredit point.
Maka, tidak sampai seperempat jam sudah banyak yang pada thekluk-thekluk, terkantuk-kantuk, beberapa lainnya seperti biasa, termasuk pembicara yang belum dapat jatah ngomong, utak-utik gadget smartphone mereka, BBM an atau Whatsapp-an atau FB-an, atau ngetwit.
Yang anak muda pasang status koyo yak-yak-o: “Lagi di hotel Hayat, seminar bla..bla..bla…”. Sesekali wajahnya senyum ketika sudah ada satu, dua, tiga jempol masuk. Lebih serius lagi wajahnya ketika ada comment di wallnya ” wah keren…., bagi-bagi yaa ilmunya”. (Prett). Padahal yang ngirim bisa jadi lagi ngantri pajak motor, lagi be-ol, lagi nunggu jemputan, lagi males kerja atau apapun, ah sebenarnya sih bukannya sok peduli sama status orang, cumaa… yahh..cari kegiatan (daripada bengong, maka utak-atik gadget).
Yang tua ya ngantuk. Kalau nggak bisa ngantuk yah liat kanan kiri, eternitnya diliat, ini kok pada jebol belum diperbaiki wong hotel sekelas ini…itu fotonya kok masih presiden yang lama…itu bunga apa kok bagus sekali..itu ibu pakai baju model apa..dan sebagai-bagainya.
Bagong yang hadir di situ pun, menggantikan Raden Arjuna, mengistilahkan mereka sebagai manusia sarden. Kok sarden? Lho gini. Anda pernah tau ikan sarden? Berapa banyak dalam satu kaleng? Oke katakanlah tiga. Apanya yang kurang? Yak betul! Kepalanya. Ya itulah manusia di sini. Badanya aja yang ada di sini tapi kepalanya entah kemana. Manusia sarden.
Jadwal seminar adalah sehari sampai jam empat sore, tetapi pas bakda Ishoma Dhuhur, moderator berbicara.
“Bapak ibu semuanya, kami memahami kesibukan bapak ibu. Kita tahu bla..bla..bla…Nah ini apakah acara seminar ini akan diteruskan sampai jam empat sore, ataukah mau dipercepat?”
Lhaaaaaaaa…inilah yang bikin peserta melek! Spontan semua menjawab,”Dipercepaaaaattt!!!!”
“Lha..beneran ini. Kalau mau sampai jam empat kita panitia juga sanggup. Benar mau dipercepat?”
“DIPERCEPAAATTT…” Maka berhamburanlah beberapa komentar liar.
“Lebih cepat lebih baik”..”Yang penting amplopnyaa.” “Sidah ditangkap substansinya, Pak”.
“Baiklah, untuk selanjutnya demi adanya kesepahaman, marilah diisi lembar evaluasi acara ini. Setelah itu Bapak Ibu kami persilahkan untuk ke panitia untuk mengurus administrasi dan membawa pulang snack sore yang telah kami persiapkan….”
Dan? Segenap peserta pulang dengan wajah cerah ceria menandatangani entah apa itu yang perlu ditandatangani setelah mengisi lembar evaluasi yang diisi asal-asalan. Pertanyaan terkait dengan mutu moderator, mutu pembicara, mutu tema dan lain sebagainyaaaaaaaaaaaaaaa……pokoknya digebyah uyah: MEMUASKAN. Nggak penting. Entah berapa lembar. Nggak penting. Yang penting setelah itu ada amplop dengan terbilang sekian rupiah dipotong pajak. Mereka sudah siap ketika besok melapor kepada atasan mereka. Sesuatu yang sudah biasa berulang dan berulang.
Sebuah peristiwa yang sudah sangat biasa di sebuah negeri imajinasi saya sendiri. Tidak pernah terjadi Indonesia, apalagi di Yogyakarta. Tenin kuwi.
=====
Pakem, 20 Desember 2014
Copy & paste dari rekan PNS di Pemprov DIY
Komentar
Posting Komentar
tinggalkan pesan Anda